SUATU UPAYA KE ARAH PENCAPAIAN KUALITAS KEPEMIMPINAN INDIVIDUAL YANG INTEGRATIF-HUMANISTIK
A.
PENDAHULUAN
Penulis ingin menjelaskan dulu sejumlah asumsi yang mendasari pemikiran tentang Kepemimpinan Mistik (KM) dalam keseluruhan alur pemikiran makalah ini. Pertama, makalah ini harus dipandang sebagai upaya embrional menuju pengembangan suatu kerangka konseptual kepemimpinan yang “distinct” dan “unique” diantara berbagai pemikiran kepemimpinan yang telah ada sebelumnya. Dalam rangka memenuhi karakteristik tersebut, maka penulis melihat dimensi mistik dalam kepemimpinan belum mendapatkan perhatian yang memadai.
Kedua, pemilihan kata mistik diharapkan tidak menimbulkan apriori dan prasangka negatif terhadap makalah ini. Kata ini dipilih karena memiliki medan makna (semantic field) yang paling tepat untuk mewadahi penjelasan yang ingin disampaikan. Sekaligus pula terkandung niat untuk meluruskan pengertian kata tersebut yang sudah mengalami pergeseran makna menjadi sesuatu yang berkonotasi negatif, buruk, atau rendah (pejorative). Padahal makna asalnya mengandung sesuatu yang bersifat positif dan mulia.
Ketiga, makalah ini muncul dari kesadaran penulis tentang perlunya suatu pemikiran dalam kepemimpinan yang lebih memberikan ruang terhadap dimensi emosional, spiritual, atau batin individu manusia yang seringkali luput dari perhatian, karena lebih menekankan pada dimensi intelektualitas, rasionalitas, atau bahkan penampilan fisik individu manusia. Kecenderungan untuk memberikan perhatian pada dimensi batin, emosi atau spiritual dalam kepemimpinan sebenarnya sudah terlihat secara jelas dengan munculnya charismatic leadership (House, 1976; Conger & Kanungo, 1994) dan transformational leadership (Bass, 1990). Gagasan utama makalah ini juga berada dalam arah yang sama dengan pemikiran tersebut.
Tujuan makalah ini adalah menjelaskan bagaimana seorang individu pemimpin memperoleh atau mendapatkan kemampuan kepemimpinannya melalui latihan-latihan dan usaha-usaha yang bersifat mistis. Dengan kata lain, gagasan utama KM terletak pada aspek
1
metodik-filosofis. Berbagai pemikiran dalam bidang kepemimpinan tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang hal ini, atau bahkan mengabaikannya sama sekali. Dalam aspek inilah terutama KM berusaha mengisi kekosongan itu. Tujuan ini sekaligus menunjukkan keberbedaan (distinctiveness) kepemimpinan mistikal diantara pemikiran kepemimpinan yang lainnya.
Tingkat analisis (level of analysis) KM difokuskan pada pemimpin sebagai individu. Tingkat analisis individual ini memiliki arti penting yang signifikan dalam kajian kepemimpinan, karena kualitas kepemimpinan individu merupakan inti (core) dari kepemimpinan. Apalagi jika dikaitkan dengan salah satu nilai yang penulis yakini yaitu bahwa, ”setiap individu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu, … (Al Hadits).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pembahasan makalah ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: (i) menjelaskan secara ringkas evolusi pemikiran tentang kepemimpinan, (ii) menjelaskan kedudukan dan sifat KM, dan (iii) metode-metode mistik dalam perolehan kualitas kepemimpinan individual.
B.
EVOLUSI PEMIKIRAN DALAM KEPEMIMPINAN
Luthan (1995) menyatakan bahwa rangkaian kajian awal dalam kepemimpinan dimulai pada akhir tahun 1930-an oleh Ronald Lippit dan Ralp K. White dibawah arahan Kurt Lewin di University of Iowa, sehingga dikenal sebagai The Iowa Leadership Studies. Disusul kemudian dengan kajian yang dilakukan oleh Bureau of Business Research di Ohio State University pada tahun 1945, sehingga dikenal sebagai The Ohio State Leadership Studies. Pada saat yang bersamaan dilakukan pula kajian kepemimpinan oleh Survey Research Center di University of Michigan yang dikenal dengan The Early Michigan Leadership Studies. Tiga rangkaian penelitian ini merupakan kajian kepemimpinan yang paling penting untuk bidang perilaku organisasional. Selanjutnya, muncul berbagai pemikiran tentang kepemimpinan yang sangat variatif.
Berbagai pemikiran tentang kepemimpinan dikelompokkan kedalam klasifikasi yang berbeda oleh para pakar organisasi (misalnya: Luthan, 1995; Robin, 1996; Schermerhorn,
2
1997). Dalam makalah ini digunakan klasifikasi dari Schermerhorn (1997) yang membagi pemikiran kepemimpinan menjadi 4 (empat) landasan teoritis, yaitu: (i) Trait Theories (TT), (ii) Behavioral Theories (BT), (iii) Situational Contingency Theories (SCT), dan (iv) The New Leadership (TNL). Klasifikasi ini dipilih karena memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan klasifikasi lainnya. Pertama, Trait Theories (TT0 berusaha mengidentifikasikan sifat-sifat yang dimiliki oleh “orang-orang besar” dalam sejarah. Sifat-sifat tersebut (misalnya berani, integritas, cerdas, dll) berkaitan dengan keberhasilan seorang pemimpin. Dari landasan teori ini pula muncul pendapat bahwa, “leaders were felt to be born, not made”. (Luthan, 1995). Pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan. Jadi, kemampuan memimpin merupakan anugrah alamiah yang melekat dalam diri seseorang menurut kodratnya. Namun, kajian ini dianggap gagal menyediakan suatu teori sifat yang umum (universal) mengidentifikasi pemimpin, karena ketidaklayakan melakukan konseptualisasi dan pengukuran sejumlah sifat, dan kegagalan untuk menunjukkan perbedaan dalam organisasi dan situasi, sebagaimana dijelaskan oleh Bernard M. Bass (Schermerhorn, 1997).
Kedua, Behavioral Theories (BT) berasumsi bahwa terdapat perilaku atau tindakan yang paling efektif supaya kepemimpinan berhasil dengan baik. Jadi, sebenarnya sama saja dengan teori pertama, hanya berbeda titik perhatiannya saja: dari sifat (trait) menjadi perilaku (behavior). Pemikiran kepemimpinan yang dikelompokkan dalam landasan teori ini adalah: (i) The Iowa Studies, (ii) The Ohio State Studies, (iii) Michigan Studies, (iv) The Leadership Grid, dan (v) Leader-Member Exchange Theory (LMX). Kecuali untuk LMX theory, 4 (empat) teori perilaku lainnya menekankan pada perilaku yang berorientasi pada initiating structure versus consideration (Ohio); atau employee oriented vs production oriented (Michigan); atau concern for people vs concern for production (Grid). Sedangkan LMX menekankan pada perbedaan perlakuan pemimpin kepada bawahannya tergantung dari kualitas hubungan dyad (pasangan) antara pemimpin dengan bawahannya. Jika kualitas LMX tinggi, maka bawahan tersebut dianggap “in-group”, sedangkan bawahan dengan kualitas LMX rendah dianggap “out-group”.
Implikasi praktis BT dinyatakan dengan tepat oleh Robin (1996), “if behavioral studies were to turn up critical behavioral determinant of leadership, we could train people to be a leader”. Berbeda dengan implikasi TT yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan (kodrati) sehingga tidak bisa diajarkan. Sebaliknya, BT menyatakan bahwa jika terdapat
3
perilaku spesifik pada pemimpin tertentu, maka kepemimpinan itu dapat diajarkan dengan merancang program yang mencangkokkan pola-pola perilaku tersebut kepada orang yang menginginkan untuk menjadi pemimpin yang efektif. Namun, terdapat satu pertimbangan yang dilupakan oleh BT yaitu faktor situasi yang selalu berubah. Perubahan situasi menuntut perubahan perilaku pemimpin. Perubahan perilaku efektif inilah yang tidak mungkin dilakukan karena adanya asumsi bahwa terdapat perilaku yang paling efektif dalam segala situasi.
Kelemahan BT diperbaiki dalam landasan teori ketiga, yaitu: SCT (Situational Contingency Theories), yang meliputi: (i) Fiedler’s theory, (ii) Path-Goal theory, (iii) Hersey & Blanchard’s theory, (iv) Jermier & Kerr’s Substitute for Ledership. Inti argumentasi seluruh teori kepemimpinan kontingensi adalah bahwa tidak ada perilaku pemimpin yang efektif berlaku pada semua situasi. Perilaku x hanya akan efektif pada situasi a, sedangkan pada situasi b yang efektif adalah perilaku y, dan perilaku z hanya efektif pada situasi c (Robin, 1996: 419). Dalam hal ini, SCT menentukan faktor-faktor situasi apakah yang menentukan efektif tidaknya suatu perilaku pemimpin. Fiedler mengidentifikasikan 3 (tiga) dimensi situasional, yaitu: (i) leader-member relation, yang menunjukkan tingkat kepercayaan, keyakinan, dan respek bawahan terhadap pemimpinnya; (ii) Task structure, yang menunjukkan tingkat sejauh mana tugas-tugas pekerjaan dirumuskan secara prosedural; dan (iii) Position power, yang menunjukkan tingkat pengaruh yang dimiliki pemimpin dalam mengendalikan variabel-variabel kekuasaan (Robin, 1996). Sedangkan Hersey dan Blanchard menekankan faktor situasi berupa “maturity of follower” (kematangan pengikut) yang dilihat dari kemauan (willingness) dan kemampuan (ability) untuk melakukan suatu pekerjaan.
Landasan teori kepemimpinan yang terakhir adalah The New Leadership (TNL). Pendekatan kepemimpinan yang dikelompokkan sebagai TNL adalah: (i) Attribution Theory (AT), (ii) Charismatic Leadership (CL), dan (iii) Transformational Leadership (TL). Pertama, AT; AT mengemukakan bahwa kepemimpinan hanya merupakan suatu atribusi yang dibuat oleh masyarakat (orang-orang) tentang orang lain (Robin, 1996: 436). Jika orang lain memberi atribusi positif kepada seorang pemimpin, maka kepemimpinannya akan efektif. Jadi, pendekatan ini menekankan pada persepsi orang lain terhadap perilaku pemimpin tersebut.
Kedua, CL; CL merupakan perluasan dari teori atribusi (Robin, 1996: 436), dan gabungan dari trait dan behavior theories (Schermerhorn,et.al, 1997: 329). Conger &
4
Kanungo menyatakan bahwa para pengikut membuat atribusi tentang kemampuan kepemimpinan yang heroik dan extraordinary ketika mereka menyaksikan perilaku-perilaku tertentu (Robin, 1996). Charismatic leaders didefinisikan sebagai,”those who, by force of their personal capabilities, are capable of having a profound and extraordinary effect on followers” (Schermerhorn,et.al., 1997). Robert House juga membedakan antara negatif atau “dark-side” charismatic leaders yang menekankan pada personalisasi kekuasaan (personalized power) terfokus pada dirinya, dan positif atau “bright-side” charismatic leaders yang menekankan pada sosialisasi kekuasaan (socialized power) dengan memberdayakan pengikutnya. Dua kategori ini membantu membedakan, misalnya, antara Hitler, David Koresh, Jim Jones (dark-siders) dan Martin Luther King (bright-side) (Schermerhorn,et.al., 1997).
Dalam menjelaskan CL, Conger & Kanungo mengembangkan 4 tahap CL, yaitu: (i) mengembangkan visi perubahan dari status quo, (ii) mengkomunikasikan visi tersebut kepada pengikutnya, (iii) membangun kepercayaan dengan menunjukkan kualitas seperti expertise, success, risk taking, atau tindakan yang inkonvensional, dan (iv) pemimpin menunjukkan cara untuk mencapai visi dengan melakukan pemberdayaan, modelling bagi pengikut (Schermerhorn,et.al., 1997). Luthan (1995) menyatakan sejumlah sifat pemimpin yang mendorong terjadinya atribusi karismatik, yaitu: (i) self confidence, (ii) impression management skill, (iii) social sensitivity, dan (iv) empathy.
Pemikiran kepemimpinan terakhir adalah transformational leadership (TL), yang dikemukkan oleh Bernard M. Bass. Transformational leader dijelaskan sebagai,”leaders who provide individual consideration and intellectual stimulation and who possess charisma” (Robin, 1996). Menurut Bass, TL memiliki 4 dimensi, yaitu: (i) charisma, (ii) inspiration, (iii) intellectual stimulation, dan (iv) individualized consideration (Luthan, 1995). Dari dimensi tersebut terlihat bahwa TL mengakomodasikan aspek CL, yaitu: charisma. Sedangkan Tichy dan Devana menemukan 7 karakteristik transformational leader, yaitu: (i) they identify themselves as change agents, (ii) they are courageous, (iii) they believe in peole, (iv) they are value-driven, (v) they are lifelong learner, (vi) they have ability to deal with complexity, ambiguity, and uncertainty, and (vii) they are visionaries (Luthan, 1995).
Prasyarat yang diperlukan untuk mewujudkan CL dan TL tersebut diatas merupakan gabungan kualitas kepemimpinan individual yang terdiri atas: sifat pribadi (traits), aktifitas (activity), dan keahlian (skills) yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang efektif. Kajian
5
yang mencoba menjawab apa kegiatan atau peranan dan keahlian yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang efektif, sebenarnya telah dilakukan oleh sejumlah pakar (Mintzberg, 1973; Luthan, 1985). Pendekatan tersebut saat ini memperoleh tempat dalam pemikiran kepemimpinan melalui kerangka Charismatic Leadership dan Transformational Leadership.
Hal paling penting dari kerangka New Leadership, khususnya dalam charismatic dan transformational leadership adalah kembalinya titik perhatian kepemimpinan pada dimensi individual (leader itself), yang memiliki sejumlah sifat dan kemampuan personal untuk merebut kesediaan karyawan menunjukkan seluruh potensi dirinya secara nyata. Dalam CL dan TL, karyawan merasakan kebanggaan dan kekaguman kepada pemimpinnya yang menjadikannya “takluk” secara sukarela dalam menerima pengaruh dan kekuasaan pemimpin tersebut. Namun, pemimpin karismatik tidak menggunakan “penyerahan diri” pengikutnya itu untuk memberdayakan dirinya sendiri dengan mengeksploitasi pengikut, tapi justru untuk memberdayakan para pengikutnya sebagai manusia yang utuh, sehingga tercipta kepuasan dan harmoni yang terus menerus.
Persoalannya adalah bagaimana para pemimpin memperoleh kualitas kepemimpinan individual tersebut?. Apa hal baru yang ditawarkan oleh kepemimpinan mistikal dalam persoalan ini?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
C.
KEPEMIMPINAN MISTIS: KEDUDUKAN DAN SIFAT
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal makalah ini, KM bertujuan menyajikan aspek metodik bagaimana mencapai kualitas kepemimpinan individual seperti yang diinginkan oleh kepemimpinan karismatik dan transformasional. Dengan demikian, kedudukan KM harus diletakkan dalam kerangka The New Leadership, yang berfungsi komplementaris (complementary) terhadap CL dan TL. Fungsi komplementarisnya terletak pada tawaran metodologis alternatif dalam memperoleh kualitas kepemimpinan individual.
Mengapa disebut tawaran metodologis alternatif?. Karena KM menawarkan dimensi yang terlupakan dalam sistem pengetahuan manusia, yaitu: Mistik. Sampai disini maka kita tidak bisa menghindarkan diri untuk tidak membahas aspek pengetahuan sebagai bagian dari filsafat ilmu, sehingga dapat diketahui sifat dari kepemimpinan mistik ini. Istilah mistik berasal dari Mystical (Inggris), yang secara harfiah berarti gaib, ajaib, penuh rahasia, kebatinan. Ada juga istilah Mysticism yang berarti tasawuf atau kebatinan (Echols & Sadly,
6
1996). Hornby mendefinisikan Mysticism sebagai,” the teaching or belief that knowledge of Real Truth and of God may be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind and the senses” (Simuh, 1996). Jadi, mysticism merupakan keyakinan atau ajaran yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang kebenaran sejati dan Tuhan dapat diperoleh melalui meditasi atau pengalaman spiritual, tanpa menggunakan rasio dan panca indera. Berdasarkan penjelasan tersebut mistik merupakan salah jenis pengetahuan yang dimiliki oleh manusia.
Dalam makalah ini pembahasan mistik difokuskan pada fungsinya sebagai salah satu jenis pengetahuan. Pengetahuan mistik seringkali diabaikan dalam diskursus ilmiah, karena dominasi pengetahuan ilmiah yang bersifat empiris, dan positivistik. Tafsir (1990) secara eksplisit mengakui keberadaan pengetahuan mistik ini. Menurut Tafsir (1990) terdapat 3 (tiga) macam pengetahuan manusia, yaitu: (i) sains, (ii) filsafat, dan (iii) mistik. Ketiga jenis pengetahuan ini memiliki obyek, paradigma, metode, dan ukuran yang berbeda-beda seperti tampak dalam tabel 1.
Tabel 1
Klasifikasi Pengetahuan Manusia
Macam
Obyek
Paradigma
Metode
Ukuran
Sains
Empiris
Positivistik
Ilmiah
Logis dan bukti empiris
Filsafat
Abstrak logis
logis
rasio
Logis
Mistik
Abstrak supralogis
Mistis
Latihan
rasa
Sumber: Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990, hlm. 15
Berdasarkan tabel 1 diatas, pengetahuan mistik ini berbeda dengan filsafat dan sains. Dua hal yang paling menarik dalam pengetahuan ini adalah ukuran dan metodenya. Penggunaan rasa sebagai ukuran kebenaran pengetahuan memang menjadi sangat kontroversial, apalagi pada kalangan yang terdidik dalam tradisi olah pikir (academic). Dalam kajian filsafat, terdapat aliran pemikiran yang mendukung gagasan ini. Henry Bergson menyebut rasa itu dengan intuisi, Imanuel Kant menyebutnya moral, orang sufi Islam menyebutnya qalb, dzauq, atau irfan. Makalah ringkas ini jelas tidak bermaksud menjelaskan persoalan yang sangat kompleks ini. Salah satu argumentasi sederhana mengapa pengetahuan
7
mistik ini harus dimunculkan adalah karena kebutuhan untuk memandang manusia secara utuh (integratif-humanistik). Manusia memiliki komponen fisik, rasio, dan rasa (batin). Namun, perhatian besar dicurahkan pada aspek fisik dan rasio saja, akibatnya manusia modern mengalami keterasingan (alienasi) dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan akhirnya dengan Tuhan sebagai The Real Truth (Fromm, 1998). Untuk memperoleh pengetahuan mistik, maka metode yang digunakan adalah latihan (practice; exercise). Dalam istilah Jawa, metode ini dikenal sebagai “laku” (Soeprapto, 1989). Aspek metodik “laku” ini yang akan digunakan untuk memperoleh kualitas kepemimpinan individual. Dalam makalah ini istilah metoda laku dan metode mistik digunakan secara substitutif.
Mungkin timbul pertanyaan mengapa metode mistik digunakan untuk memperoleh kualitas kepemimpinan individual, padahal mistik merupakan pengetahuan?. Apakah kualitas kepemimpinan dianggap sebagai pengetahuan atau keahlian?. Terdapat 3 (tiga) alasan, yaitu: (i) kepemimpinan harus dianggap sebagai bauran pengetahuan dan keahlian, (ii) latihan merupakan metode yang menyediakan kesempatan untuk mempertajam dan mengasah dimensi rasa (batin), dan (iii) metode mistik bersifat komplementer (melengkapi) terhadap metode yang menekankan pada olah pikir (rasio; penguasaan konsep dan keahlian teknis). Jadi, metode latihan memang “dipinjam” untuk memperoleh kemampuan kepemimpinan individual yang diperlukan untuk bisa menjadi pemimpin yang efektif.
Apa dan bagaimana metode-metode mistik digunakan untuk memperoleh kualitas kepemimpian?. Penjelasan pertanyaan tersebut diuraikan pada bagian selanjutnya.
D.
METODE-METODE MISTIK (‘LAKU’)
Metode-metode mistik berasal dari tradisi keagamaan atau ritual. Tujuannya yang hakiki adalah untuk mendekatkan diri kepada sesuatu yang transenden, sehingga bisa merasakan kehadirannya secara batiniah dan mewujudkan sifat-sifatNya dalam hidup keseharian. Semua agama memiliki aspek ritus dalam sistem ajarannya, bahkan pada beberapa jenis ritual terdapat kesamaan gerak atau manifestasinya (misalnya: puasa dikenal oleh penganut Islam, Hindu, Budha, dan Kristen). Perlu juga disadari bahwa penggunaan aspek ritual keagaamaan sebagai metode pencapaian tujuan tertentu diluar tujuan keagaamaan memang berpotensi besar mengundang para penentang, karena menganggap niatnya sudah tidak “murni” lagi untuk mengabdi kepada Tuhan. Namun, keberatan tersebut tidak perlu ada
8
jika kegiatan tersebut dipandang dengan berfikir positif. Gordon Allport menyatakan dengan cara ini justru akan menumbuhkan kesadaran spiritual pada setiap individu yang terhujam dalam hati dan rasa, sehingga mewujudkan keberagamaan (religiusitas) yang intrinsik, dan bukan religiusitas yang ekstrinsik (Rahmat, 1991).
Menurut Soeprapto (1989) terdapat 4 (empat) tingkatan laku yang harus dijalani, yaitu: (i) laku badaniah (fisik), (ii) laku kehendak (sembah rasa), (iii) laku jiwa (sembah jiwa), dan (iv) laku rasa (sembah agama). Empat tingkatan laku ini tertuang dalam literatur sufisme Jawa, yaitu Serat Wedhatama yang ditulis oleh Mangkunegoro IV pada tahun 1853 (Hadisutjipto, 1979). Pertama, tingkat yang paling dasar adalah pengolahan diri dengan jalan menghilangkan kotor yang melekat pada badan, memelihara dan menjaga kesucian badan. Cara membersihkannya dengan menggunakan air. Langkah ini dilakukan untuk mempersiapkan badan agar mampu menjadi satu dengan tekad untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, seluruh kegiatan harus selalu terarah kepada tujuan yang ingin dicapai (Soeprapto, 1989:26).
Kedua, laku kehendak yang dijalankan untuk menyucikan batin dengan cara mengekang hawa nafsu. Diawali dengan selalu berlaku tertib, teliti, hati-hati, tepat dan tekun betapapun berat dan sulitnya, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan (habit). Dalam melakukan segala perbuatan selalu ingat dan waspada (Soeprapto, 1989: 31). Jika dijalankan dengan sungguh-sungguh maka akan menghilangkan segala penghalang yang menghambat pandangan lahir dan batin. Dengan demikian, laku kehendak ini akan mengarahkan manusia untuk bisa melihat jalan yang benar, memahami substansi masalah dan realitas objektif, sehingga mampu memberikan pemecahan masalah secara tepat.
Ketiga, laku kejiwaan yang ditujukan kepada aspek psikis. Laku jiwa ini dilakukan dengan menyatukan 3 (tiga) alam, yaitu: (i) alam semesta, (ii) manusia sebagai pribadi, dan (iii) alam metafisik. Manusia harus berusaha menjadi satu dengan alam semesta dan alam metafisik supaya selalu tertuju ke alam keabadian (Hadisutjipto, 1975). Kesatuan tersebut dapat tercipta jika manusia memperhatikan dirinya, dan menjauhkan dari segala hal duniawi dengan melakukan silencing (berdiam, merenung), introspeksi secara benar, sehingga bisa menyatu dalam gerak alam dan masuk ke alam metafisik (diluar jangkauan indera). Dalam diri manusia terdapat sumber hidup yang dapat dijadikan tujuan laku jiwa yaitu kalbu (hati) yang terbuka. Dengan cara ini, seseorang bisa memperoleh pengetahuan yang benar tentang dirinya
9
sendiri yang tidak terpisahkan dengan pengetahuan tentang alam semesta dan alam metafisik. Hal ini dimungkinkan karena jiwa manusia mampu menjadi subyek yang melakukan introspeksi, retrospeksi dan prospeksi terhadap unsur-unsur abstark dari manusia dan alam semesta (Soeprapto, 1989).
Pemikiran yang senada penulis temukan pada pemikiran Marzan (1999) yang menyebutkan 3 (tiga) tahap yang dilakukan untuk mecapai apa yang disebutnya trasformational self-management leadership, yaitu: (i) introspection, (ii) transformation, dan (iii) linking. Tahap pertama merupakan upaya silencing (perenungan) untuk melihat kedalam diri sendiri, looking to inside, melihat hati dan kalbu. Tahap kedua melakukan transormasi (perubahan) dari alam fisik ke alam metafisik. Dan tahap ketiga, menghubungkan (linking) antara diri sendiri (microcosmos; jagad alit) dengan alam semesta (macrocosmos; jagad gede) dan alam keabadian yang metafisik. Tiga tahap ini akan mengantarkan seseorang pada kualitas transformational sef-management ledership, yang merupakan pengungkapan lain dari kepemimpinan mistik seperti yang dimaksud oleh penulis.
Keempat, laku religius (sembah rasa). Laku ini merupakan kegiatan melepaskan diri dari segala keterbatasan. Seluruh kegiatan hanya diarahkan kepada alam transendental atau alam keabadian atau alam ilahiah (Soeprapto, 1989). Dengan laku ini seseorang akan benar-benar mengerti apa tujuan hidup, karena seseorang akan selalu ingat kepada “sangkan paraning dumadi” (asal usulnya dan tempat kembalinya). Inilah laku yang tertinggi yang harus dicapai oleh individu manusia.
Empat tingkatan laku tersebut diatas merupakan penjelasan filosofis atas tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang yang hendak memperoleh kualitas kepemimpinan individual. Dalam prakteknya, terdapat cara-cara laku yang ditempuh secara lahiriah untuk mencapai kualitas kepemimpinan tersebut. Soehardi (1986) menyebutkan 3 (tiga) klasifikasi laku yang biasa dilakukan oleh masyarakat (Jawa), yaitu: pertama, Nyepi atau Nyepen; mengasingkan diri ke tempat sunyi, seperti: puncak gunung, pinggir sungai, dalam gua, atau ke tengah hutan. Kedua, menunda pemenuhan kebutuhan badaniah atau menyakiti diri sendiri, seperti: berjaga sepanjang malam (lek-lekan), merendam di sungai (kungkum), berpuasa, sesirik, ngebleng, pati geni, atau tapa. Ketiga, ngalap berkah dengan menziarahi makam-makam wali dan petilasan tokoh-tokoh sejarah.
10
Berbagai agama memiliki tradisi ritual seperti ini. Dari ajaran Islam dikenal adanya do’a-do’a tertentu (wirid) yang diyakini mampu memberikan kekuatan dan kemampuan tertentu pada orang yang mengamalkannya. Sholat juga digunakan sebagai metode untuk memperoleh sesuatu, karena diyakini bisa mendatangkan pengaruh tertentu (misalnya sholat Tahajud, sholat Dhuha, Sholat Istisqo’, atau sholat Hajat). Demikian pula halnya dengan dzikir dan menjalankan amalan thariqat tertentu (Simuh, 1996). Dalam tradisi Budha atau Hindu, meditasi dengan cara tertentu (misalnya Yoga) sebagai ritual agama juga dijadikan metode mistik untuk memperoleh kemampuan tertentu yang sifatnya supranatural.
E.
PENUTUP
Dalam pandangan positivisme dan empirisme, semua metode mistik tersebut mungkin dipandang sebagai tidak berguna, tidak ilmiah, dan tidak layak diperbincangkan di kalangan akademik. Namun, kita harus menyadari bahwa keterikatan yang berlebihan kepada positivisme dan empirisme akan membawa ilmu pengetahuan kedalam kekeringan makna dan pendangkalan ilmu pengetahuan itu sendiri. Lebih jauh lagi, manusia akan mengalami fragmentasi dan parsialisasi, karena tidak memberikan kesempatan kepada seluruh dimensi kemanusiaan untuk menunjukkan keberadaannya. Dan sesungguhnya, krisis manusia modern saat ini disebabkan oleh hilangnya dimensi spiritualitas, sehingga manusia menjadi kehilangan makna dan tujuan hidup.
Makalah ringkas ini tentu memerlukan proses elaborasi yang lebih lanjut untuk bisa memberikan pemahaman yang utuh tentang metode mistik dalam memperoleh kualitas kepemimpinan individual. Gagasan utamanya adalah bagaimana menempatkan dimensi mistik kedalam wacana manajemen secara umum, dan dalam kepemimpinan secara khusus. Pengakuan dimensi mistik kedalam wacana kepemimpinan akan melengkapi (complementary) kekosongan paradigma epistemologis yang berlaku selama ini. Disamping itu, pengakuan dimensi mistik ini akan memperbaiki cara pandang terhadap manusia, dari partialistik menjadi integralistik, sehingga individu manusia memiliki kesadaran utuh tentang makna dan tujuan hidupnya.
Sejumlah pertanyaan harus dijawab dalam proses elaborasi tersebut, misalnya: bagaimana menyediakan landasan kerangka filsafat ilmunya sehingga dimensi mistik yang abstrak supralogis ini dapat dijelaskan secara logis?; kerangka metodologis apa yang cocok
11
dipakai dalam penelitian-penelitian di bidang ini?; bagaimana operasionalisasi konstruk-konstruk yang abstrak itu akan diteliti?; perlukah penyusunan alat ukur (measurement) terhadap konstruk abstrak tadi?; jika perlu, bagaimana cara mengukurnya?; jika metode ini bisa diajarkan (learnable), bagaimana cara mengajarkannya?, berapa lama?, dimana dan siapa yang mengajarkan?.
Bagi penulis, bidang kajian ini sangat menantang dan menarik (exciting), dan sepanjang pengamatan penulis, masih sangat jarang yang membahasnya dalam kaitannya dengan bidang manajemen (khususnya kepemimpinan). Sehingga jika ini ditindaklanjuti dengan serius akan menjadi aliran pemikiran manajemen (kepemimpinan) yang distinct dan genuine, ditengah-tengah melimpahnya pemikiran di bidang ini yang sudah hampir jenuh dan cenderung mengalami penyeragaman (uniformity). Dengan menggunakan kerangka product life cycle (PLC), kerangka kepemimpinan mistik akan meremajakan kembali (rejuvenate) siklus pemikiran kepemimpinan yang hampir memasuki tahap decline. Kajian pendukung untuk bidang ini sebenarnya berlimpah. Kita dapat menggunakan sumber utama dari hasil-hasil pemikiran keagamaan (studi agama) dan filsafat, ditambah studi-studi di bidang sosiologi dan antropologi budaya.
Tentu saja, pembahasan yang disajikan penulis untuk menangkap substansi masalah ini masih sangat dangkal, dan masih mentah. Oleh karena itu, lontaran gagasan ini mudah-mudahan menarik perhatian semua pihak yang memiliki kompetensi dan minat untuk menggali permasalahan ini lebih jauh dan lebih dalam lagi..
12
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris-Indonesia. Cetakan XXIII, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fromm, Eric. 1997. Escape from Freedom. Terjemahan oleh Kamdani. Cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadisutjipto, S. 1975. Serat Wedhatama, Surakarta: Sadu Budi.
Luthan, Fred. 1995. Organizational Behavior. 7th edition. New York: McGraw-Hill.
Rahmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan
Robin, Stephen P. 1996. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications. 7th edition, Englewood Cliff: Prentice Hall International, Inc.
Schermerhorn, Jr. John R., et.al. 1997. Organizational Behavior. 6th edition, New York: John Wiley and Sons, Inc.
Simuh, 1996. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Cetakan 2, Yogyakarta: Bentang.
Simuh, 1996. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Cetakan pertama, Jakarta: Rajawali Pers.
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai William James. Bandung: Remaja Rosda Karya.
B.
Laporan Penelitian dan Makalah
Marzan, Bienvenido. 1999. Emerging Values on Human Resources Development: Trends, Prospects and Challenges. Materi Presentasi pada Kuliah Umum yang diselenggarakan QUE Manajemen Fakultas Ekonomi UGM, 22 April 1999.
Soeprapto, Sri. 1989. Metode “laku” sebagai Cara untuk Memperoleh Pengetahuan. Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Soehardi. 1986. Tirakat: Suatu Tinjauan “Laku” Mistik dalam Masyarakat Jawa. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Yogyakarta. Oleh: Dudung Abdurrahman
PENDAHULUAN
Penulis ingin menjelaskan dulu sejumlah asumsi yang mendasari pemikiran tentang Kepemimpinan Mistik (KM) dalam keseluruhan alur pemikiran makalah ini. Pertama, makalah ini harus dipandang sebagai upaya embrional menuju pengembangan suatu kerangka konseptual kepemimpinan yang “distinct” dan “unique” diantara berbagai pemikiran kepemimpinan yang telah ada sebelumnya. Dalam rangka memenuhi karakteristik tersebut, maka penulis melihat dimensi mistik dalam kepemimpinan belum mendapatkan perhatian yang memadai.
Kedua, pemilihan kata mistik diharapkan tidak menimbulkan apriori dan prasangka negatif terhadap makalah ini. Kata ini dipilih karena memiliki medan makna (semantic field) yang paling tepat untuk mewadahi penjelasan yang ingin disampaikan. Sekaligus pula terkandung niat untuk meluruskan pengertian kata tersebut yang sudah mengalami pergeseran makna menjadi sesuatu yang berkonotasi negatif, buruk, atau rendah (pejorative). Padahal makna asalnya mengandung sesuatu yang bersifat positif dan mulia.
Ketiga, makalah ini muncul dari kesadaran penulis tentang perlunya suatu pemikiran dalam kepemimpinan yang lebih memberikan ruang terhadap dimensi emosional, spiritual, atau batin individu manusia yang seringkali luput dari perhatian, karena lebih menekankan pada dimensi intelektualitas, rasionalitas, atau bahkan penampilan fisik individu manusia. Kecenderungan untuk memberikan perhatian pada dimensi batin, emosi atau spiritual dalam kepemimpinan sebenarnya sudah terlihat secara jelas dengan munculnya charismatic leadership (House, 1976; Conger & Kanungo, 1994) dan transformational leadership (Bass, 1990). Gagasan utama makalah ini juga berada dalam arah yang sama dengan pemikiran tersebut.
Tujuan makalah ini adalah menjelaskan bagaimana seorang individu pemimpin memperoleh atau mendapatkan kemampuan kepemimpinannya melalui latihan-latihan dan usaha-usaha yang bersifat mistis. Dengan kata lain, gagasan utama KM terletak pada aspek
1
metodik-filosofis. Berbagai pemikiran dalam bidang kepemimpinan tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang hal ini, atau bahkan mengabaikannya sama sekali. Dalam aspek inilah terutama KM berusaha mengisi kekosongan itu. Tujuan ini sekaligus menunjukkan keberbedaan (distinctiveness) kepemimpinan mistikal diantara pemikiran kepemimpinan yang lainnya.
Tingkat analisis (level of analysis) KM difokuskan pada pemimpin sebagai individu. Tingkat analisis individual ini memiliki arti penting yang signifikan dalam kajian kepemimpinan, karena kualitas kepemimpinan individu merupakan inti (core) dari kepemimpinan. Apalagi jika dikaitkan dengan salah satu nilai yang penulis yakini yaitu bahwa, ”setiap individu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu, … (Al Hadits).
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pembahasan makalah ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: (i) menjelaskan secara ringkas evolusi pemikiran tentang kepemimpinan, (ii) menjelaskan kedudukan dan sifat KM, dan (iii) metode-metode mistik dalam perolehan kualitas kepemimpinan individual.
B.
EVOLUSI PEMIKIRAN DALAM KEPEMIMPINAN
Luthan (1995) menyatakan bahwa rangkaian kajian awal dalam kepemimpinan dimulai pada akhir tahun 1930-an oleh Ronald Lippit dan Ralp K. White dibawah arahan Kurt Lewin di University of Iowa, sehingga dikenal sebagai The Iowa Leadership Studies. Disusul kemudian dengan kajian yang dilakukan oleh Bureau of Business Research di Ohio State University pada tahun 1945, sehingga dikenal sebagai The Ohio State Leadership Studies. Pada saat yang bersamaan dilakukan pula kajian kepemimpinan oleh Survey Research Center di University of Michigan yang dikenal dengan The Early Michigan Leadership Studies. Tiga rangkaian penelitian ini merupakan kajian kepemimpinan yang paling penting untuk bidang perilaku organisasional. Selanjutnya, muncul berbagai pemikiran tentang kepemimpinan yang sangat variatif.
Berbagai pemikiran tentang kepemimpinan dikelompokkan kedalam klasifikasi yang berbeda oleh para pakar organisasi (misalnya: Luthan, 1995; Robin, 1996; Schermerhorn,
2
1997). Dalam makalah ini digunakan klasifikasi dari Schermerhorn (1997) yang membagi pemikiran kepemimpinan menjadi 4 (empat) landasan teoritis, yaitu: (i) Trait Theories (TT), (ii) Behavioral Theories (BT), (iii) Situational Contingency Theories (SCT), dan (iv) The New Leadership (TNL). Klasifikasi ini dipilih karena memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan klasifikasi lainnya. Pertama, Trait Theories (TT0 berusaha mengidentifikasikan sifat-sifat yang dimiliki oleh “orang-orang besar” dalam sejarah. Sifat-sifat tersebut (misalnya berani, integritas, cerdas, dll) berkaitan dengan keberhasilan seorang pemimpin. Dari landasan teori ini pula muncul pendapat bahwa, “leaders were felt to be born, not made”. (Luthan, 1995). Pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan. Jadi, kemampuan memimpin merupakan anugrah alamiah yang melekat dalam diri seseorang menurut kodratnya. Namun, kajian ini dianggap gagal menyediakan suatu teori sifat yang umum (universal) mengidentifikasi pemimpin, karena ketidaklayakan melakukan konseptualisasi dan pengukuran sejumlah sifat, dan kegagalan untuk menunjukkan perbedaan dalam organisasi dan situasi, sebagaimana dijelaskan oleh Bernard M. Bass (Schermerhorn, 1997).
Kedua, Behavioral Theories (BT) berasumsi bahwa terdapat perilaku atau tindakan yang paling efektif supaya kepemimpinan berhasil dengan baik. Jadi, sebenarnya sama saja dengan teori pertama, hanya berbeda titik perhatiannya saja: dari sifat (trait) menjadi perilaku (behavior). Pemikiran kepemimpinan yang dikelompokkan dalam landasan teori ini adalah: (i) The Iowa Studies, (ii) The Ohio State Studies, (iii) Michigan Studies, (iv) The Leadership Grid, dan (v) Leader-Member Exchange Theory (LMX). Kecuali untuk LMX theory, 4 (empat) teori perilaku lainnya menekankan pada perilaku yang berorientasi pada initiating structure versus consideration (Ohio); atau employee oriented vs production oriented (Michigan); atau concern for people vs concern for production (Grid). Sedangkan LMX menekankan pada perbedaan perlakuan pemimpin kepada bawahannya tergantung dari kualitas hubungan dyad (pasangan) antara pemimpin dengan bawahannya. Jika kualitas LMX tinggi, maka bawahan tersebut dianggap “in-group”, sedangkan bawahan dengan kualitas LMX rendah dianggap “out-group”.
Implikasi praktis BT dinyatakan dengan tepat oleh Robin (1996), “if behavioral studies were to turn up critical behavioral determinant of leadership, we could train people to be a leader”. Berbeda dengan implikasi TT yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan (kodrati) sehingga tidak bisa diajarkan. Sebaliknya, BT menyatakan bahwa jika terdapat
3
perilaku spesifik pada pemimpin tertentu, maka kepemimpinan itu dapat diajarkan dengan merancang program yang mencangkokkan pola-pola perilaku tersebut kepada orang yang menginginkan untuk menjadi pemimpin yang efektif. Namun, terdapat satu pertimbangan yang dilupakan oleh BT yaitu faktor situasi yang selalu berubah. Perubahan situasi menuntut perubahan perilaku pemimpin. Perubahan perilaku efektif inilah yang tidak mungkin dilakukan karena adanya asumsi bahwa terdapat perilaku yang paling efektif dalam segala situasi.
Kelemahan BT diperbaiki dalam landasan teori ketiga, yaitu: SCT (Situational Contingency Theories), yang meliputi: (i) Fiedler’s theory, (ii) Path-Goal theory, (iii) Hersey & Blanchard’s theory, (iv) Jermier & Kerr’s Substitute for Ledership. Inti argumentasi seluruh teori kepemimpinan kontingensi adalah bahwa tidak ada perilaku pemimpin yang efektif berlaku pada semua situasi. Perilaku x hanya akan efektif pada situasi a, sedangkan pada situasi b yang efektif adalah perilaku y, dan perilaku z hanya efektif pada situasi c (Robin, 1996: 419). Dalam hal ini, SCT menentukan faktor-faktor situasi apakah yang menentukan efektif tidaknya suatu perilaku pemimpin. Fiedler mengidentifikasikan 3 (tiga) dimensi situasional, yaitu: (i) leader-member relation, yang menunjukkan tingkat kepercayaan, keyakinan, dan respek bawahan terhadap pemimpinnya; (ii) Task structure, yang menunjukkan tingkat sejauh mana tugas-tugas pekerjaan dirumuskan secara prosedural; dan (iii) Position power, yang menunjukkan tingkat pengaruh yang dimiliki pemimpin dalam mengendalikan variabel-variabel kekuasaan (Robin, 1996). Sedangkan Hersey dan Blanchard menekankan faktor situasi berupa “maturity of follower” (kematangan pengikut) yang dilihat dari kemauan (willingness) dan kemampuan (ability) untuk melakukan suatu pekerjaan.
Landasan teori kepemimpinan yang terakhir adalah The New Leadership (TNL). Pendekatan kepemimpinan yang dikelompokkan sebagai TNL adalah: (i) Attribution Theory (AT), (ii) Charismatic Leadership (CL), dan (iii) Transformational Leadership (TL). Pertama, AT; AT mengemukakan bahwa kepemimpinan hanya merupakan suatu atribusi yang dibuat oleh masyarakat (orang-orang) tentang orang lain (Robin, 1996: 436). Jika orang lain memberi atribusi positif kepada seorang pemimpin, maka kepemimpinannya akan efektif. Jadi, pendekatan ini menekankan pada persepsi orang lain terhadap perilaku pemimpin tersebut.
Kedua, CL; CL merupakan perluasan dari teori atribusi (Robin, 1996: 436), dan gabungan dari trait dan behavior theories (Schermerhorn,et.al, 1997: 329). Conger &
4
Kanungo menyatakan bahwa para pengikut membuat atribusi tentang kemampuan kepemimpinan yang heroik dan extraordinary ketika mereka menyaksikan perilaku-perilaku tertentu (Robin, 1996). Charismatic leaders didefinisikan sebagai,”those who, by force of their personal capabilities, are capable of having a profound and extraordinary effect on followers” (Schermerhorn,et.al., 1997). Robert House juga membedakan antara negatif atau “dark-side” charismatic leaders yang menekankan pada personalisasi kekuasaan (personalized power) terfokus pada dirinya, dan positif atau “bright-side” charismatic leaders yang menekankan pada sosialisasi kekuasaan (socialized power) dengan memberdayakan pengikutnya. Dua kategori ini membantu membedakan, misalnya, antara Hitler, David Koresh, Jim Jones (dark-siders) dan Martin Luther King (bright-side) (Schermerhorn,et.al., 1997).
Dalam menjelaskan CL, Conger & Kanungo mengembangkan 4 tahap CL, yaitu: (i) mengembangkan visi perubahan dari status quo, (ii) mengkomunikasikan visi tersebut kepada pengikutnya, (iii) membangun kepercayaan dengan menunjukkan kualitas seperti expertise, success, risk taking, atau tindakan yang inkonvensional, dan (iv) pemimpin menunjukkan cara untuk mencapai visi dengan melakukan pemberdayaan, modelling bagi pengikut (Schermerhorn,et.al., 1997). Luthan (1995) menyatakan sejumlah sifat pemimpin yang mendorong terjadinya atribusi karismatik, yaitu: (i) self confidence, (ii) impression management skill, (iii) social sensitivity, dan (iv) empathy.
Pemikiran kepemimpinan terakhir adalah transformational leadership (TL), yang dikemukkan oleh Bernard M. Bass. Transformational leader dijelaskan sebagai,”leaders who provide individual consideration and intellectual stimulation and who possess charisma” (Robin, 1996). Menurut Bass, TL memiliki 4 dimensi, yaitu: (i) charisma, (ii) inspiration, (iii) intellectual stimulation, dan (iv) individualized consideration (Luthan, 1995). Dari dimensi tersebut terlihat bahwa TL mengakomodasikan aspek CL, yaitu: charisma. Sedangkan Tichy dan Devana menemukan 7 karakteristik transformational leader, yaitu: (i) they identify themselves as change agents, (ii) they are courageous, (iii) they believe in peole, (iv) they are value-driven, (v) they are lifelong learner, (vi) they have ability to deal with complexity, ambiguity, and uncertainty, and (vii) they are visionaries (Luthan, 1995).
Prasyarat yang diperlukan untuk mewujudkan CL dan TL tersebut diatas merupakan gabungan kualitas kepemimpinan individual yang terdiri atas: sifat pribadi (traits), aktifitas (activity), dan keahlian (skills) yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang efektif. Kajian
5
yang mencoba menjawab apa kegiatan atau peranan dan keahlian yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang efektif, sebenarnya telah dilakukan oleh sejumlah pakar (Mintzberg, 1973; Luthan, 1985). Pendekatan tersebut saat ini memperoleh tempat dalam pemikiran kepemimpinan melalui kerangka Charismatic Leadership dan Transformational Leadership.
Hal paling penting dari kerangka New Leadership, khususnya dalam charismatic dan transformational leadership adalah kembalinya titik perhatian kepemimpinan pada dimensi individual (leader itself), yang memiliki sejumlah sifat dan kemampuan personal untuk merebut kesediaan karyawan menunjukkan seluruh potensi dirinya secara nyata. Dalam CL dan TL, karyawan merasakan kebanggaan dan kekaguman kepada pemimpinnya yang menjadikannya “takluk” secara sukarela dalam menerima pengaruh dan kekuasaan pemimpin tersebut. Namun, pemimpin karismatik tidak menggunakan “penyerahan diri” pengikutnya itu untuk memberdayakan dirinya sendiri dengan mengeksploitasi pengikut, tapi justru untuk memberdayakan para pengikutnya sebagai manusia yang utuh, sehingga tercipta kepuasan dan harmoni yang terus menerus.
Persoalannya adalah bagaimana para pemimpin memperoleh kualitas kepemimpinan individual tersebut?. Apa hal baru yang ditawarkan oleh kepemimpinan mistikal dalam persoalan ini?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
C.
KEPEMIMPINAN MISTIS: KEDUDUKAN DAN SIFAT
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal makalah ini, KM bertujuan menyajikan aspek metodik bagaimana mencapai kualitas kepemimpinan individual seperti yang diinginkan oleh kepemimpinan karismatik dan transformasional. Dengan demikian, kedudukan KM harus diletakkan dalam kerangka The New Leadership, yang berfungsi komplementaris (complementary) terhadap CL dan TL. Fungsi komplementarisnya terletak pada tawaran metodologis alternatif dalam memperoleh kualitas kepemimpinan individual.
Mengapa disebut tawaran metodologis alternatif?. Karena KM menawarkan dimensi yang terlupakan dalam sistem pengetahuan manusia, yaitu: Mistik. Sampai disini maka kita tidak bisa menghindarkan diri untuk tidak membahas aspek pengetahuan sebagai bagian dari filsafat ilmu, sehingga dapat diketahui sifat dari kepemimpinan mistik ini. Istilah mistik berasal dari Mystical (Inggris), yang secara harfiah berarti gaib, ajaib, penuh rahasia, kebatinan. Ada juga istilah Mysticism yang berarti tasawuf atau kebatinan (Echols & Sadly,
6
1996). Hornby mendefinisikan Mysticism sebagai,” the teaching or belief that knowledge of Real Truth and of God may be obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind and the senses” (Simuh, 1996). Jadi, mysticism merupakan keyakinan atau ajaran yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang kebenaran sejati dan Tuhan dapat diperoleh melalui meditasi atau pengalaman spiritual, tanpa menggunakan rasio dan panca indera. Berdasarkan penjelasan tersebut mistik merupakan salah jenis pengetahuan yang dimiliki oleh manusia.
Dalam makalah ini pembahasan mistik difokuskan pada fungsinya sebagai salah satu jenis pengetahuan. Pengetahuan mistik seringkali diabaikan dalam diskursus ilmiah, karena dominasi pengetahuan ilmiah yang bersifat empiris, dan positivistik. Tafsir (1990) secara eksplisit mengakui keberadaan pengetahuan mistik ini. Menurut Tafsir (1990) terdapat 3 (tiga) macam pengetahuan manusia, yaitu: (i) sains, (ii) filsafat, dan (iii) mistik. Ketiga jenis pengetahuan ini memiliki obyek, paradigma, metode, dan ukuran yang berbeda-beda seperti tampak dalam tabel 1.
Tabel 1
Klasifikasi Pengetahuan Manusia
Macam
Obyek
Paradigma
Metode
Ukuran
Sains
Empiris
Positivistik
Ilmiah
Logis dan bukti empiris
Filsafat
Abstrak logis
logis
rasio
Logis
Mistik
Abstrak supralogis
Mistis
Latihan
rasa
Sumber: Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990, hlm. 15
Berdasarkan tabel 1 diatas, pengetahuan mistik ini berbeda dengan filsafat dan sains. Dua hal yang paling menarik dalam pengetahuan ini adalah ukuran dan metodenya. Penggunaan rasa sebagai ukuran kebenaran pengetahuan memang menjadi sangat kontroversial, apalagi pada kalangan yang terdidik dalam tradisi olah pikir (academic). Dalam kajian filsafat, terdapat aliran pemikiran yang mendukung gagasan ini. Henry Bergson menyebut rasa itu dengan intuisi, Imanuel Kant menyebutnya moral, orang sufi Islam menyebutnya qalb, dzauq, atau irfan. Makalah ringkas ini jelas tidak bermaksud menjelaskan persoalan yang sangat kompleks ini. Salah satu argumentasi sederhana mengapa pengetahuan
7
mistik ini harus dimunculkan adalah karena kebutuhan untuk memandang manusia secara utuh (integratif-humanistik). Manusia memiliki komponen fisik, rasio, dan rasa (batin). Namun, perhatian besar dicurahkan pada aspek fisik dan rasio saja, akibatnya manusia modern mengalami keterasingan (alienasi) dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan akhirnya dengan Tuhan sebagai The Real Truth (Fromm, 1998). Untuk memperoleh pengetahuan mistik, maka metode yang digunakan adalah latihan (practice; exercise). Dalam istilah Jawa, metode ini dikenal sebagai “laku” (Soeprapto, 1989). Aspek metodik “laku” ini yang akan digunakan untuk memperoleh kualitas kepemimpinan individual. Dalam makalah ini istilah metoda laku dan metode mistik digunakan secara substitutif.
Mungkin timbul pertanyaan mengapa metode mistik digunakan untuk memperoleh kualitas kepemimpinan individual, padahal mistik merupakan pengetahuan?. Apakah kualitas kepemimpinan dianggap sebagai pengetahuan atau keahlian?. Terdapat 3 (tiga) alasan, yaitu: (i) kepemimpinan harus dianggap sebagai bauran pengetahuan dan keahlian, (ii) latihan merupakan metode yang menyediakan kesempatan untuk mempertajam dan mengasah dimensi rasa (batin), dan (iii) metode mistik bersifat komplementer (melengkapi) terhadap metode yang menekankan pada olah pikir (rasio; penguasaan konsep dan keahlian teknis). Jadi, metode latihan memang “dipinjam” untuk memperoleh kemampuan kepemimpinan individual yang diperlukan untuk bisa menjadi pemimpin yang efektif.
Apa dan bagaimana metode-metode mistik digunakan untuk memperoleh kualitas kepemimpian?. Penjelasan pertanyaan tersebut diuraikan pada bagian selanjutnya.
D.
METODE-METODE MISTIK (‘LAKU’)
Metode-metode mistik berasal dari tradisi keagamaan atau ritual. Tujuannya yang hakiki adalah untuk mendekatkan diri kepada sesuatu yang transenden, sehingga bisa merasakan kehadirannya secara batiniah dan mewujudkan sifat-sifatNya dalam hidup keseharian. Semua agama memiliki aspek ritus dalam sistem ajarannya, bahkan pada beberapa jenis ritual terdapat kesamaan gerak atau manifestasinya (misalnya: puasa dikenal oleh penganut Islam, Hindu, Budha, dan Kristen). Perlu juga disadari bahwa penggunaan aspek ritual keagaamaan sebagai metode pencapaian tujuan tertentu diluar tujuan keagaamaan memang berpotensi besar mengundang para penentang, karena menganggap niatnya sudah tidak “murni” lagi untuk mengabdi kepada Tuhan. Namun, keberatan tersebut tidak perlu ada
8
jika kegiatan tersebut dipandang dengan berfikir positif. Gordon Allport menyatakan dengan cara ini justru akan menumbuhkan kesadaran spiritual pada setiap individu yang terhujam dalam hati dan rasa, sehingga mewujudkan keberagamaan (religiusitas) yang intrinsik, dan bukan religiusitas yang ekstrinsik (Rahmat, 1991).
Menurut Soeprapto (1989) terdapat 4 (empat) tingkatan laku yang harus dijalani, yaitu: (i) laku badaniah (fisik), (ii) laku kehendak (sembah rasa), (iii) laku jiwa (sembah jiwa), dan (iv) laku rasa (sembah agama). Empat tingkatan laku ini tertuang dalam literatur sufisme Jawa, yaitu Serat Wedhatama yang ditulis oleh Mangkunegoro IV pada tahun 1853 (Hadisutjipto, 1979). Pertama, tingkat yang paling dasar adalah pengolahan diri dengan jalan menghilangkan kotor yang melekat pada badan, memelihara dan menjaga kesucian badan. Cara membersihkannya dengan menggunakan air. Langkah ini dilakukan untuk mempersiapkan badan agar mampu menjadi satu dengan tekad untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, seluruh kegiatan harus selalu terarah kepada tujuan yang ingin dicapai (Soeprapto, 1989:26).
Kedua, laku kehendak yang dijalankan untuk menyucikan batin dengan cara mengekang hawa nafsu. Diawali dengan selalu berlaku tertib, teliti, hati-hati, tepat dan tekun betapapun berat dan sulitnya, sehingga akhirnya menjadi kebiasaan (habit). Dalam melakukan segala perbuatan selalu ingat dan waspada (Soeprapto, 1989: 31). Jika dijalankan dengan sungguh-sungguh maka akan menghilangkan segala penghalang yang menghambat pandangan lahir dan batin. Dengan demikian, laku kehendak ini akan mengarahkan manusia untuk bisa melihat jalan yang benar, memahami substansi masalah dan realitas objektif, sehingga mampu memberikan pemecahan masalah secara tepat.
Ketiga, laku kejiwaan yang ditujukan kepada aspek psikis. Laku jiwa ini dilakukan dengan menyatukan 3 (tiga) alam, yaitu: (i) alam semesta, (ii) manusia sebagai pribadi, dan (iii) alam metafisik. Manusia harus berusaha menjadi satu dengan alam semesta dan alam metafisik supaya selalu tertuju ke alam keabadian (Hadisutjipto, 1975). Kesatuan tersebut dapat tercipta jika manusia memperhatikan dirinya, dan menjauhkan dari segala hal duniawi dengan melakukan silencing (berdiam, merenung), introspeksi secara benar, sehingga bisa menyatu dalam gerak alam dan masuk ke alam metafisik (diluar jangkauan indera). Dalam diri manusia terdapat sumber hidup yang dapat dijadikan tujuan laku jiwa yaitu kalbu (hati) yang terbuka. Dengan cara ini, seseorang bisa memperoleh pengetahuan yang benar tentang dirinya
9
sendiri yang tidak terpisahkan dengan pengetahuan tentang alam semesta dan alam metafisik. Hal ini dimungkinkan karena jiwa manusia mampu menjadi subyek yang melakukan introspeksi, retrospeksi dan prospeksi terhadap unsur-unsur abstark dari manusia dan alam semesta (Soeprapto, 1989).
Pemikiran yang senada penulis temukan pada pemikiran Marzan (1999) yang menyebutkan 3 (tiga) tahap yang dilakukan untuk mecapai apa yang disebutnya trasformational self-management leadership, yaitu: (i) introspection, (ii) transformation, dan (iii) linking. Tahap pertama merupakan upaya silencing (perenungan) untuk melihat kedalam diri sendiri, looking to inside, melihat hati dan kalbu. Tahap kedua melakukan transormasi (perubahan) dari alam fisik ke alam metafisik. Dan tahap ketiga, menghubungkan (linking) antara diri sendiri (microcosmos; jagad alit) dengan alam semesta (macrocosmos; jagad gede) dan alam keabadian yang metafisik. Tiga tahap ini akan mengantarkan seseorang pada kualitas transformational sef-management ledership, yang merupakan pengungkapan lain dari kepemimpinan mistik seperti yang dimaksud oleh penulis.
Keempat, laku religius (sembah rasa). Laku ini merupakan kegiatan melepaskan diri dari segala keterbatasan. Seluruh kegiatan hanya diarahkan kepada alam transendental atau alam keabadian atau alam ilahiah (Soeprapto, 1989). Dengan laku ini seseorang akan benar-benar mengerti apa tujuan hidup, karena seseorang akan selalu ingat kepada “sangkan paraning dumadi” (asal usulnya dan tempat kembalinya). Inilah laku yang tertinggi yang harus dicapai oleh individu manusia.
Empat tingkatan laku tersebut diatas merupakan penjelasan filosofis atas tahap-tahap yang harus dilalui oleh seseorang yang hendak memperoleh kualitas kepemimpinan individual. Dalam prakteknya, terdapat cara-cara laku yang ditempuh secara lahiriah untuk mencapai kualitas kepemimpinan tersebut. Soehardi (1986) menyebutkan 3 (tiga) klasifikasi laku yang biasa dilakukan oleh masyarakat (Jawa), yaitu: pertama, Nyepi atau Nyepen; mengasingkan diri ke tempat sunyi, seperti: puncak gunung, pinggir sungai, dalam gua, atau ke tengah hutan. Kedua, menunda pemenuhan kebutuhan badaniah atau menyakiti diri sendiri, seperti: berjaga sepanjang malam (lek-lekan), merendam di sungai (kungkum), berpuasa, sesirik, ngebleng, pati geni, atau tapa. Ketiga, ngalap berkah dengan menziarahi makam-makam wali dan petilasan tokoh-tokoh sejarah.
10
Berbagai agama memiliki tradisi ritual seperti ini. Dari ajaran Islam dikenal adanya do’a-do’a tertentu (wirid) yang diyakini mampu memberikan kekuatan dan kemampuan tertentu pada orang yang mengamalkannya. Sholat juga digunakan sebagai metode untuk memperoleh sesuatu, karena diyakini bisa mendatangkan pengaruh tertentu (misalnya sholat Tahajud, sholat Dhuha, Sholat Istisqo’, atau sholat Hajat). Demikian pula halnya dengan dzikir dan menjalankan amalan thariqat tertentu (Simuh, 1996). Dalam tradisi Budha atau Hindu, meditasi dengan cara tertentu (misalnya Yoga) sebagai ritual agama juga dijadikan metode mistik untuk memperoleh kemampuan tertentu yang sifatnya supranatural.
E.
PENUTUP
Dalam pandangan positivisme dan empirisme, semua metode mistik tersebut mungkin dipandang sebagai tidak berguna, tidak ilmiah, dan tidak layak diperbincangkan di kalangan akademik. Namun, kita harus menyadari bahwa keterikatan yang berlebihan kepada positivisme dan empirisme akan membawa ilmu pengetahuan kedalam kekeringan makna dan pendangkalan ilmu pengetahuan itu sendiri. Lebih jauh lagi, manusia akan mengalami fragmentasi dan parsialisasi, karena tidak memberikan kesempatan kepada seluruh dimensi kemanusiaan untuk menunjukkan keberadaannya. Dan sesungguhnya, krisis manusia modern saat ini disebabkan oleh hilangnya dimensi spiritualitas, sehingga manusia menjadi kehilangan makna dan tujuan hidup.
Makalah ringkas ini tentu memerlukan proses elaborasi yang lebih lanjut untuk bisa memberikan pemahaman yang utuh tentang metode mistik dalam memperoleh kualitas kepemimpinan individual. Gagasan utamanya adalah bagaimana menempatkan dimensi mistik kedalam wacana manajemen secara umum, dan dalam kepemimpinan secara khusus. Pengakuan dimensi mistik kedalam wacana kepemimpinan akan melengkapi (complementary) kekosongan paradigma epistemologis yang berlaku selama ini. Disamping itu, pengakuan dimensi mistik ini akan memperbaiki cara pandang terhadap manusia, dari partialistik menjadi integralistik, sehingga individu manusia memiliki kesadaran utuh tentang makna dan tujuan hidupnya.
Sejumlah pertanyaan harus dijawab dalam proses elaborasi tersebut, misalnya: bagaimana menyediakan landasan kerangka filsafat ilmunya sehingga dimensi mistik yang abstrak supralogis ini dapat dijelaskan secara logis?; kerangka metodologis apa yang cocok
11
dipakai dalam penelitian-penelitian di bidang ini?; bagaimana operasionalisasi konstruk-konstruk yang abstrak itu akan diteliti?; perlukah penyusunan alat ukur (measurement) terhadap konstruk abstrak tadi?; jika perlu, bagaimana cara mengukurnya?; jika metode ini bisa diajarkan (learnable), bagaimana cara mengajarkannya?, berapa lama?, dimana dan siapa yang mengajarkan?.
Bagi penulis, bidang kajian ini sangat menantang dan menarik (exciting), dan sepanjang pengamatan penulis, masih sangat jarang yang membahasnya dalam kaitannya dengan bidang manajemen (khususnya kepemimpinan). Sehingga jika ini ditindaklanjuti dengan serius akan menjadi aliran pemikiran manajemen (kepemimpinan) yang distinct dan genuine, ditengah-tengah melimpahnya pemikiran di bidang ini yang sudah hampir jenuh dan cenderung mengalami penyeragaman (uniformity). Dengan menggunakan kerangka product life cycle (PLC), kerangka kepemimpinan mistik akan meremajakan kembali (rejuvenate) siklus pemikiran kepemimpinan yang hampir memasuki tahap decline. Kajian pendukung untuk bidang ini sebenarnya berlimpah. Kita dapat menggunakan sumber utama dari hasil-hasil pemikiran keagamaan (studi agama) dan filsafat, ditambah studi-studi di bidang sosiologi dan antropologi budaya.
Tentu saja, pembahasan yang disajikan penulis untuk menangkap substansi masalah ini masih sangat dangkal, dan masih mentah. Oleh karena itu, lontaran gagasan ini mudah-mudahan menarik perhatian semua pihak yang memiliki kompetensi dan minat untuk menggali permasalahan ini lebih jauh dan lebih dalam lagi..
12
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris-Indonesia. Cetakan XXIII, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fromm, Eric. 1997. Escape from Freedom. Terjemahan oleh Kamdani. Cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadisutjipto, S. 1975. Serat Wedhatama, Surakarta: Sadu Budi.
Luthan, Fred. 1995. Organizational Behavior. 7th edition. New York: McGraw-Hill.
Rahmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan
Robin, Stephen P. 1996. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications. 7th edition, Englewood Cliff: Prentice Hall International, Inc.
Schermerhorn, Jr. John R., et.al. 1997. Organizational Behavior. 6th edition, New York: John Wiley and Sons, Inc.
Simuh, 1996. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Cetakan 2, Yogyakarta: Bentang.
Simuh, 1996. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Cetakan pertama, Jakarta: Rajawali Pers.
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai William James. Bandung: Remaja Rosda Karya.
B.
Laporan Penelitian dan Makalah
Marzan, Bienvenido. 1999. Emerging Values on Human Resources Development: Trends, Prospects and Challenges. Materi Presentasi pada Kuliah Umum yang diselenggarakan QUE Manajemen Fakultas Ekonomi UGM, 22 April 1999.
Soeprapto, Sri. 1989. Metode “laku” sebagai Cara untuk Memperoleh Pengetahuan. Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Soehardi. 1986. Tirakat: Suatu Tinjauan “Laku” Mistik dalam Masyarakat Jawa. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Yogyakarta. Oleh: Dudung Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar